Selasa, 31 Juli 2012

Perang Tujuh Tahun : Mayor Jendral Robert Clive, Panji Kemenangan Inggris di India


Robert Clive - Kehidupan Awal & Karir:


Lahir pada 29 September, 1725 di dekat Market Drayton, Inggris, Robert Clive adalah salah satu dari tiga belas anak dari orang tuanya. Dikirim untuk tinggal bersama bibinya di Manchester, selama itu ia dimanjakan oleh bibinya dan kembali ke rumah pada usia sembilan tahun dan menjadi seorang pengacau dilingkungannya karena sifat kurang disiplinnya. Dengan keadaan seperti itu dia menjadi seorang yang suka berkelahi, Clive memaksa pedagang dari beberapa daerah untuk membayar uang perlindungan padanya agar bisnis mereka tidak dirusak oleh gengnya.

Dikeluarkan dari tiga sekolah, membuat ayahnya memasukkan dia sebagai penulis di East India Company pada 1743. Menerima perintah untuk berlayar ke Madras, Clive naik kapal bersama East Indiaman Winchester pada bulan Maret.

Robert Clive - Awal Tahun di India:

Setelah sempat tertunda perjalanannya di brasil, Clive akhirnya tiba di Fort St George, Madras pada bulan Juni 1744. Setelah melakukan perkejaan yang membosankan baginya, akhirnya dia merasa tinggal di Madras menjadi lebih hidup pada tahun 1746 ketika Prancis menyerang kota tersebut. Setelah jatuhnya kota, Clive lolos menuju selatan ke Fort St David dan bergabung dengan tentara East India Company. Ditugaskan sebagai letnan muda, ia menjabat sampai perdamaian dideklarasikan di tahun 1748. Tidak senang pada prospek untuk kembali ke tugas yang biasa dan membosankan seperti sebelumnya, Clive mulai menderita depresi yang menghantui dirinya sepanjang hidupnya. Selama periode ini, ia berteman dengan Mayor Stringer Lawrence yang menjadi mentor profesionalnya.

Meskipun Inggris dan Prancis secara teknis berdamai, namun konflik tingkat rendah tetap berlangsung di India karena kedua belah pihak mencari keuntungan di wilayah tersebut. Pada 1749, Lawrence menunjuk Clive menjadi komisaris di Fort St George dengan pangkat kapten. Untuk memuluskan agenda mereka masing-masing, kekuatan Eropa sering melakukan campur tangan dalam perebutan kekuasaan lokal dengan tujuan mendudukkan pemimpin yang bersahabat bagi mereka. Salah satu intervensi yang terjadi seperti penunjukan jabatan Nawab dari Carnatic dimana Perancis mendukung Chanda Sahib sementara Inggris memberikan dukungan pada Muhammed Ali Khan Wallajah. Pada musim panas 1751, Chanda Sahib meninggalkan pangkalannya di Arcot untuk menyerang Trichinopoly.

Robert Clive - Kepoulerannya di Arcot:

Melihat kesempatan tersebut, Clive meminta izin untuk menyerang Arcot dengan tujuan menarik beberapa pasukan musuh yang berjarak cukup jauh dari Trichinopoly. Bergerak dengan sekitar 500 pria, Clive berhasil menyerbu benteng di Arcot. Tindakannya menyebabkan Chanda Sahib mengirimkan pasukan gabungan India-Perancis untuk pergi ke Arcot di bawah pimpinan anaknya, Raza Sahib. Berada dalam pengepungan, Clive mampu bertahan selama lima puluh hari sampai tiba bantuan dari pasukan Inggris. Bergabung dalam kampanye berikutnya, ia akhirnya berhasil membantu menempatkan kandidat calon Nawab yang didukung oleh Inggris ke singgasananya. Atas prestasi dan tindakannya tersebut, dia dipuji oleh Perdana Menteri William Pitt the Elder, dan kembali ke Inggris pada 1753.

Robert Clive - Kembali ke India:

Setibanya di rumah setelah mengumpulkan kekayaan sebesar £ 40.000, Clive memenangkan kursi di parlemen dan membantu keluarganya untuk melunasi hutang-hutangnya. Namun tak berapa lama dia kehilangan kursinya diparlemen karena adanya intrik politik dan membutuhkan dana tambahan, ia akhirnya memilih untuk kembali ke India. Menjabat gubernur Fort St David dengan pangkat letnan kolonel di Angkatan Darat Inggris, ia memulai perjalanannya pada Maret 1755. Mencapai Bombay, Clive membantu angkatan laut inggris dalam melakukan serangan terhadap kubu bajak laut di Gheria sebelum mencapai Madras Mei 1756. Saat mulai menjabat di pos barunya, Nawab Benggala, Siraj Ud Daulah, menyerang dan menduduki Calcutta.

Robert Clive - Kemenangan di Plassey:

Ketegangan antara Inggris dan Prancis di India sebagian beasar dipicu oleh penguatan basis-basis militer antara pasukan Inggris dan Perancis setelah awal dari Perang Tujuh Tahun. Setelah Fort William di Calcutta didudki oleh Nawab Benggala, sejumlah besar tahanan Inggris digiring ke penjara kecil. Dimana penjara tersebut sering dijuluki sebagai "Black Hole dari Kalkuta," banyak yang meninggal karena kelelahan dan kelaparan. Bermaksud ingin mengambil alih kembali Kalkuta, Clive dan Wakil Laksamana Charles Watson memerintahkan East India Company untuk berlayar menuju utara. Tiba dengan empat Kapal Baris , Inggris akhirnya berhasil mengambil alih kembali Kalkuta dan Clive membuat perjanjian dengan nawab pada tanggal 4 Februari 1757.

Karena takut akan pertumbuhan kekuatan Inggris di Bengal, Siraj Ud Daulah mulai menghubungi Prancis untuk meminta bantuan. Mengetahui bahwa nawab sedang mencari bantuan, Clive mengirim pasukannya untuk melawan koloni Perancis di Chandernagore yang akhirnya jatuh pada 23 Maret. Setelah berhasil mengalahkan koloni prancis, Clive mengalihkan perhatiannya kembali ke Siraj Ud Daulah, ia mulai berencana untuk menggulingkannya dengan mengandalkan pasukan East India Company, campuran pasukan Eropa dan sepahi, namun gabungan pasukan tersebut masih kalah jauh dibanding jumlah pasukan nawab. Melihat Kondisi yang tidak Ideal tersebut, Clive berusaha membujuk Mir Jafar, komandan militer Siraj Ud Daulah, untuk berpihak kepadanya selama pertempuran berikutnya dengan janji Mir Jafar akan dijadikan nawab pengganti Siraj Ud Daulah apabila mau berpihak pada inggris.

Sebagaimana diketahui permusuhan diantara keduanya berlanjut sampai pasukan kecil Clive bertemu dengan tentara besar Siraj Ud Daulah di dekat Palashi pada 23 Juni. Hasil dalam Pertempuran Plassey tersebut, pasukan Inggris akhirnya menang setelah Mir Jafar beralih pihak membantu inggris. Setelah menempatkan Jafar di atas takhta, Clive mengarahkan operasi militernya lebih lanjut di Bengal sambil meminta pasukan tambahan untuk mengadapi pasukan Perancis di dekat Madras. Selain mengawasi kampanye militer, Clive juga bekerja untuk refortify Kalkuta dan berusaha untuk melatih tentara sepoi yang bekerja pada East India Company mengenai taktik dan latihan perang sesuai standar eropa. Dalam hal yang hampir sama sebelumnya, Clive kembali ke Inggris pada 1760.

Robert Clive - Masa Terakhir di India:

Tiba di London, Clive dianugrahi gelar bangsawan sebagai Baron Clive dari Plassey sebagai pengakuan atas prestasinya tersebut. Kembali ke Parlemen, ia bekerja untuk mereformasi struktur East India Company dan sering bentrok dengan Para Dewan Direksi perusahaan dagang tersebut. Mengetahui pemberontakan yang dilakukan oleh Mir Jafar serta korupsi yang tersebar luas di pihak pejabat perusahaan, Clive diminta untuk kembali ke Bengal sebagai gubernur dan panglima tertinggi. Sesampainya di Kalkuta Mei 1765, ia berhasil menstabilkan situasi politik dan memadamkan pemberontakan yang terjadi dalam company's army.

Pada bulan Agustus itu, Clive berhasil meminta Kaisar Mughal Shah Alam II untuk mengakui perusahaan dagang Inggris di India serta memperoleh titah kerajaan yang memberikan hak kepada East India Company untuk mengumpulkan pendapatan di Bengal. Dokumen ini secara efektif membuatnya menjadi penguasa wilayah ini dan dasar legitimasi atas kekuasaan Inggris di India. Tersisa dua tahun lagi di India, Clive bekerja untuk merestrukturisasi administrasi Bengal dan berusaha untuk menghentikan korupsi dalam perusahaan.

Robert Clive - Kehidupan Selanjutnya

Kembali ke Inggris pada tahun 1767, ia membeli perkebunan besar yang dijuluki "Claremont." Meskipun sukses menjadi "arsitek" dalam mengembangkan kekuasaan kerajaan Inggris di India, Clive berada dalam situasi panas pada tahun 1772 setelah para kritikus mulai mempertanyakan bagaimana ia memperoleh kekayaannya. Dengan kemampuan membela diri, ia mampu lolos sensor oleh Parlemen. Pada 1774, dengan ketegangan kolonial meningkat, Clive ditawari jabatan Komandan-in-Chief, Amerika Utara. Sayangnya, post jabatan tersebut jatuh ke Letnan Jenderal Thomas Gage yang terpaksa berurusan dengan awal Revolusi Amerika setahun kemudian. Menderita penyakit yang menyakitkan yang diakibatkan dari pemakaian opium serta depresi besar atas kritik tentang kehidupannya di India, Clive bunuh diri dengan pisau lipat pada 22 November 1774.

sumber :http://militaryhistory.about.com/od/army/p/Seven-Years-War-Major-General-Robert-Clive-1st-Baron-Clive.html

Senin, 30 Juli 2012

Perang Franco-Prussian 1870-1871: Petaka Perancis Akibat Kecerobohan serta Ketidaksiapan Napoleon III dan Pasukannya Part III

Kemenangan besar pasukan gabungan Jerman ini dan menyerahnya Napoleon III bukanlah akhir dari Perang Franco-Prussian. Akan tetapi,  ini telah memadamkan semangat berperang pasukan Perancis. Dari penjelasan singkat mengenai beberapa pertempuran dalam Perang Franco Prussian ini, dapat disimpulkan bahwa cara untuk memenangkan pertempuran tersebut adalah dengan gabungan cara pergerakan (maneuver ) ditambah kecerdikan dan kekuatan (attrition) dari pihak Prussia dan sekutu. Unsur pergerakan (maneuver) dari pertempuran-pertempuran diatas terlihat dari kecepatan pergerakan pasukan gabungan Prusia yang berhasil memanfaatkan rel kereta api untuk pemindahan pasukan ke garis terdepan. Keunggulan ini tidak dimiliki oleh Perancis yang justru lambat dalam pergerakannya. Unsur maneuver lainnya adalah dari taktik yang digunakan oleh pasukan gabungan Prusia yang menggunakan taktik encirclement dimana serangan bisa dari dua arah karena ada pasukan lain yang memutar. Taktik ini bahkan berhasil mengepung Napoleon III dan pasukannya di Pertempuran Sedan. Pengerahan pasukan kedua pihak juga menentukan yaitu dengan penggabungan berbagai divisi. Seperti yang dikatakan oleh Tukhachevsky yang menyatakan bahwa strategi perang yang ideal adalah yang dapat menggabungkan cavalry, infantry, dan unit-unit mekanik dalam sebuah formasi penyerangan.

Selain itu, pihak Prusia dan sekutu menginginkan perang yang cepat. Hal ini terlihat dari cukup cepatnya pergerakan dan pertempuran dalam perang tersebut. Serangan dadakan dari pasukan gabungan Prusia  juga  berhasil mengagetkan  pasukan  Perancis. Sementara itu, unsur kekuatan (attrition) dalam perang tersebut terlihat pada penggunaan banyaknya pasukan pada kedua pihak. Kemudian masih banyaknya korban perang juga mengindikasikan bahwa pertempuran yang berlangsung masih mengandalkan serangan kekuatan baik itu dari pasukannya maupun penggunaan senjata. Dampak dari kemenangan pasukan gabungan Prussia dan sekutunya dalam Pertempuran Sedan tersebut sangatlah signifikan. Pertama, Prussia bersama sekutunya (Konfiderasi Jerman Utara, Bavaria, Baden dan Wurttemberg) akhirnya bersatu mementuk Kekaisaran Jerman dengan Otto van Bismarck sebagai kanselirnya. Kedua, kekalahan kaisar Perancis Napoleon III telah menjatuhkan Kekaisaran Perancis kedua dan digantikan dengan Republik Perancis ketiga. Meskipun demikian, Perang Franco-Prussian belumlah usai. Bismarck memang langsung ingin mengadakan perjanjian damai guna mempercepat selesainya perang karena ia yakin jikaperang berlarut-larut maka akan ada pihak lain yang ikut campur. Sikap pemerintahan baru Perancis yang belum mau mengalah membuat langkah pasukan gabungan Jerman terus mengarah ke Paris. Sementara itu, pemerintah Perancis telah mempersiapkan barikade sekeliling kota yang terdiri dari ratusan ribu orang untuk mencegah pasukan Jerman masuk. Bismarck menanggapi hal ini dengan melakukan aksi pengepungan Paris yang merupakan puncak dari segala aksi Jerman dalam Perang ini. Pengepungan ini bertujuan untuk menghentikan segala logistik ke dalam kota Paris sehingga masyarakatnya akan kelaparan dan itu bisa mendorong Perancis untuk menyerah secara keseluruhan. Pada bulan Januari tahun 1871, Pemerintah Perancis melunak dan ingin mengadakan perundingan dengan Jerman. Akan tetapi ternyata masih ada intensi dari kedua pihak untuk kembali berperang. Hal itu masih bisa diredam. Pihak Jerman yang kesal karena Perancis terus berkilah untuk menyelesaikan perang dengan perjanjian damai memang mempunyai pikiran untuk kembali menyerang Perancis, tetapi Bismarck kembali berpikir rasional bahwa ia yakin Perancis sebentar lagi akan menyerah. Di lain pihak, Perancis dalam kongresnya ada usulan untuk kembali berperang, tetapi melihat kekuatan Jerman pasca unifikasi membuat hal tersebut berhasil diredam.
 
Perang ini diakhiri pada bulan Mei 1871, melalui Perjanjian Frankfurt ditandatangani yang menandai berakhirnya Perang Jerman (Prusia) dengan Perancis, dan dengan terpaksa Perancis harus menerima perjanjian itu. Mereka harus membayar ganti rugi perang dan menyerahkan kota Alsace dan Lorraine ke negara-negara Jerman, sebagai upah pampasansampai 1875.

Hal yang paling menyakitkan bagi Perancis adalah tindakan Jerman dalam memperlakukan Perancis dengan sangat tidak terhormat , yaitu menduduki Paris selama beberapa bulan dan juga menghina mereka dengan perjanjian damai. Tindakan ini dirancang sedemikian rupa untuk memastikan Perancis tidak pernah akan menyerang Prussia lagi.
 

Perang Franco-Prussian 1870-1871: Petaka Perancis Akibat Kecerobohan serta Ketidaksiapan Napoleon III dan Pasukannya Part II

 
Napoleon III yakin bahwa reorgrganisasi pada pasukannya tahun 1866 telah membuatnya lebih superior dibandingkan pasukan Prusia dan sekutunya. Ia juga mempunyai keyakinan yang besar pada dua inovasi senjata terbaru yaitu breech-loading chassepot rifle yang telah dimiliki oleh seluruh pasukannya dan sebuah mesin senjata yaitu mitrailleuse. Tampaknya para Jendral Perancis telah dibutakan oleh kebanggaan nasional akan keyakinan bisa menang. Commander in Chief pasukan Perancis adalah Napoleon III yang terdiri atas 7 corps, 1 imperial guard corps , dan 1Cavalery Reserve Corps. Setiap Corps terdiri atas 2-5 Divisi Infantri dan 1 divisi Cavalry.

Pada sisi Prusia, perang ini dilihat sebagai salah satu cara mempersatukan negara-negara berbahasa Jerman seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Pada kenyataannya, diawal perang saja Prusia sudah mendapatkan dukungan dari 3 negara Jerman Selatan (Bavaria, Wurttemberg, dan Baden) dan Negara di Konfiderasi Jerman Utara. Aset yang terpenting bagi Prusia adalah banyaknya jumlah tentara serta Staf Jendral Militer yang sudah merencakan pergerakan yang cepat dan disiplin ke zona pertempuran. Pasukan gabungan Prusia/Jerman dipimpin oleh seorang Staff General yaitu Helmuth von Moltke yang terdiri dari 3 pasukan tentara yang berbeda dengan commander yang berbeda juga.
 
Keunggulan pihak Prusia dan sekutunya sudah jelas terlihat pada masa-masa awal semenjak perang dideklarasikan. Prusia unggul dalam hal kecepatan menempatkan pasukan sejumlah 380.000 pasukan ke zona garis terdepan perbatasan wilayah hanya dalam jangka waktu18 hari.

Hal ini didukung oleh sistem rel kereta api di Prusia yang bagus. Sementara itu, pihak Perancis tidak memperkirakan hal tersebut dan proses perpindahan pasukannya berjalan dengan lambat serta ditambah masalah logistik yang kurang memadai. Dalam perang tersebut terdapat beberapa pertempuran antara pihak pasukan Perancis dengan pihak pasukan gabungan Prusia dan sekutu. 
 
Pertempuran pertama dalam perang ini adalah pertempuran Wissembourg pada 4Agustus 1870 dimana gabungan pasukan Prusia dan sekutunya mengejutkan sejumlah kecil pasukan Perancis di kota Wissembourg. Taktik yang digunakan oleh pasukan gabungan Prusia adalah menyerang dari dua sisi berbeda. Ketika pasukan Prusia menyerang pada sisi timur kota,pasukan dari Bavaria menyerang pasukan Perancis dari sisi barat kota dan dalam hitungan jam pasukan gabungan Prusia berhasil menguasai kota dan mengalahkan pasukan perancis. Dengan kemenangan di pertempuran ini, pasukan gabungan Prusia bisa makin leluasa masuk ke wilayah Perancis. 

Pertempuran selanjutnya adalah Pertempuran Spicheren pada 5 Agustus 1870 yang mana sebenarnya ini tidak direncanakan oleh Staf Jendral Moltke (Prusia). Kemenangan tentara gabungan Prusia di pertempuran ini lebih dikarenakan serangan mendadak dan salah perkiraan dari pimpinan pasukan Perancis. Kesalahan prediksi tersebut yaitu ketika pimpinan pasukan perancis beranggapan bahwa pasukan yang dibawa Prusia hanya sedikit dan ia tidak perlu memanggil tentara cadangan untuk membantu pasukannya. Akan tetapi ia salah karena jumlah pasukan lawan lebih banyak dari pada yang ia perkirakan dan ia sudah terlambat untuk memanggil pasukan bantuan. 

Pertempuran selanjutnya dan merupakan pertempuran pertama yang menggunakan jumlah pasukan yang besar mencapai ratusan ribu pasukan serta pertempuran pertama dimana seluruh sekutu Prusia ikut bertempur adalah pertempuran Worth pada tanggal 6 Agustus 1870. Pada pertempuran ini pasukan gabungan Prusia dan sekutunya menang telak. Hal pertama yang menentukan kemenangan pasukan gabungan Prusia adalah tidak imbangnya jumlah pasukan dimana Perancis hanya puluhan ribu sedangkan pasukan gabungan Prusia mencapai ratusan ribu. 

Pertempuran selanjutnya adalah Pertempuran Gravelotte yang juga merupakan pertempuran terbesar dalam Perang Franco-Prussian ini. Dalam pertempuran ini sangat jelas sekali dimana kekuatan pasukan dan senjata yang digunakan sangat berpengaruh besar karena pertempuran ini head to head ”. Pasukan Perancis mengandalkan senjata chassepot rifle-nya sedangkan Prusia dengan senjata Krupp-nya sehingga menyebabkan korban tewas yang luar biasa banyaknya mencapai puluhan ribu orang.

Pada akhirnya pasukan Perancis memilih mundur kembali ke kota Medz. Pertempuran selanjutnya dan yang terpenting adalah Pertempuran Sedan. Dalam pertempuran ini pasukan gabungan Prusia berhasil menangkap Kaisar Perancis yaitu Napoleon III beserta Jendral Militer dan ratusan ribu pasukannya.

Setelah kekalahan besar Perancis dipertempuran Gravelotte, Napoleon memikirkan nasib Paris jika pasukan gabungan Jerman meneruskan perjalanannya masuk terus kedalam wilayah Perancis. Akan tetapi ia malah terpancing untuk menyerang sebuah benteng di Sedan, yang diinformasikan terdapat sejumlah pasukan gabungan Jerman, daripada memilih mundur melindungi Paris. Ia tidak mengetahui bahwa rombongannya diikuti oleh sejumlah pasukan gabungan Jerman. Ketika pertempuran meletus, pasukan Perancis terdesak kesebuah wilayah di Sedan dan pada akhirnya menyadari bahwa mereka telah terkepung oleh pasukan gabungan Jerman. Sadar bahwa ia dan pasukannya tidak bisa mundur, Napoleon mengaku kalah dan pertempuran dihentikan.

Perang Franco-Prussian 1870-1871: Petaka Perancis Akibat Kecerobohan serta Ketidaksiapan Napoleon III dan Pasukannya

Pada tahun 1870-an terjadi perubahan yang cukup besar di daerah Eropa daratan yaitu perubahan Balance of Power pada kawasan tersebut. Selain itu, muncul sebuah kerajaan baru yang sebelumnya terdiri dari beberapa state atau kerajaan kecil yang bergabung menjadi sebuah kekuatan baru di Eropa. Kedua hal tersebut bermula dari sebuah perang yaitu Perang Franco-Prussian (1870-1871) yang hasil akhir dari perang ini telah mengubah dan membuka lembaran baru sejarah Eropa. Kenapa disebut seperti itu? Karena kekalahan Perancis terhadap Prussia dalam perang ini telah mengakhiri hegemoni Perancis di Eropa dan juga telah membuat unifikasi German Empire yang bertransformasi menjadi salah satu kekuatan terbesar di Eropa.
 
Latar belakang terjadinya perang ini ada 2 poin. Pertama adalah faktor domestic dari kedua pihak. Pihak Prusia yang diwakili oleh Otto van Bismarck, yang merupakan kanselir Prussia, mempunyai tujuan untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan berbahasa Jerman menjadi satu kerajaan/kekaisaran besar. Bismarck yakin bahwa sebuah perang patriotik melawan Perancis bisa menimbulkan nasionalisme sehingga bisa tercipta persatuan yang dicita-citakannya. Akan tetapi, Bismarck tidak bisa begitu saja menyerang Perancis atau meminta Kaisar William I (Raja Prussia) mendeklarasikan perang tanpa ada alasan yang jelas. Dengan demikian, ia menunggu waktu yang pas sambil menunggu kesempatan itu datang. Di lain pihak, Perancis yang dipimpin oleh Napoleon III dalam pemerintahan Kekaisaran Perancis Kedua merasa perlu ada suatu tindakan dimana ia bisa menunjukan bahwa Perancis masih merupakan kekuatan hegemoni di Eropa  daratan.
 
Poin kedua dan paling jelas terlihat adalah karena isu pencalonan Pangeran Leopold sebagai raja di Spanyol yang membuat Prancis dan rajanya yaitu Napoleon III menjadi geram. Semenjak terjadinya revolusi di Spanyol yang menurunkan Isabella II pada tahun 1868, takhta Kerajaan Spanyol kosong dan pada awal tahun 1870 dewan di kerajaan Spanyol memberikan penawaran kehormatan kepada Pangeran Leopold untuk menjadi Rajanya. Pangeran Leopold sendiri merupakan keponakan dari Raja Prussia yaitu Raja William I.
 
Hal ini telah membuat Perancis menjadi gerah karena jika Takhta Kerajaan Spanyol jatuh pada Leopold yang merupakan masih orang Prusia (salah satu musuh besar Prancis) maka kepemimpinannya akan terpengaruh oleh bisikan Kerajaan Prusia. Oleh karena itu, Perancis takut wilayahnya akan diserang dari kedua sisi yaitu sisi timur oleh Prusia dan sisi selatan oleh Spanyol. Selain itu, Napoleon III juga geram karena pencalonan Leopold tersebut tidak mengindahkan aturan-aturan diplomatik eropa dimana harus ada saling komunikasi dan Perancis merasa tidak dilibatkan dalam komunikasi tersebut sehingga Perancis khawatir ada maksud tersembunyi. 
 
Atas tekanan Perancis, Prussia memilih untuk mundur. Reaksi dari Leopolod dan Kaisar William I pun mengindikasikan bahwa mereka menolak tawaran takhta Spanyol tersebut. Perancis menganggap ini sebagai keberhasilan dan mengirimkan utusannya yaitu Ems Dispatch ke Prussia dalam rangka memastikan tidak ada satupun Pangeran Prussia yang mencoba naik takhta ke Kerajaan Spanyol. Kaisar William I mengirimkan suatu telegram. Akan tetapi, hal ini dimanfaatkan oleh Otto van Bismarck yang memanipulasi isi telegram tersebut menjadi lebih kasar dan merendahkan Perancis.
 
Ia kemudian mengirimkan telegram hasil manipulasinya kesebuah surat kabar di Perancis. Napoleon III dan rakyat Perancis membaca kabar tersebut kemudian menjadi geram dan marah karena merasa dilecehkan oleh Prusia. Dalam jangka waktu enam hari berikutnya, akhirnya Perancis mendeklarasikan perang terhadap Prusia.Dari kedua poin diatas mengenai latar belakang terjadinya Perang Franco Prussian, dapat dilihat sebenarnya kedua pihak sama-sama mempunyai intensi untuk menyerang satu sama lain, tentunya dengan alasan yang berbeda. Akan tetapi Prusia tampaknya bisa mengambil kesempatan sehingga ia tidak perlu dipihak yang bertanggung jawab atas asal muasal terjadinya perang tersebut karena Perancis lah yang pada akhirnya menyatakan perang. Napoleon III mendeklarasikan perang kepada Prusia pada 19 Juli 1870 dikarenakan penasihat militernya mengatakan bahwa pasukan militer Perancis bisa mengalahkan Prusia dan kemenangan seperti itu bisa memperbaiki penurunan popularitasnya di Perancis.
 

Little Holland


MELUNCUR di kawasan Kota Lama Semarang ada magnet lain yang akan menarik kita ke abad silam. Magnet itu begitu kuat manakala bangunan tua membentang ke manapun mata mengarah. Bangunan yang tersebar itu tampak relatif masih terawat, masih berbentuk bangunan, meskipun ada di antara bangunan itu yang bentuknya sudah setengah roboh.

Kota Semarang yang sudah berusia ratusan tahun ini memiliki warisan dari para Arsitek handal, antara lain Herman Thomas Karsten dan Henry Maclaine Pont. Kota lama merupakan pusat pemerintahan kota Semarang saat pendudukan Belanda. Kota lama juga dikenal dengan Little Netherland/Holland, karena di desain menyerupai kota-kota di belanda, sehingga orang Belanda yang tinggal di sini merasakan suasana seperti di kota asalnya.

Perwujudan seni dalam bentuk arsitektur bangunan mewarnai kawasan bekas kota bandar internasional yang terletak di pinggir pantai dengan muara Kali Garang yang bisa dilayari. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menggambarkan bahwa Semarang sejak dulu adalah daerah genangan Kali Garang.


Pram menulis, setelah jatuh ke tangan VOC pada 15 Januari 1678 maka mulai 1743 Semarang menjadi tempat kedudukan Gubernur Pantai Utara-Timur Jawa. Semasa kekuasaan Daendels Semarang menjadi kedudukan kepala Landrostambt dan semasa Raffles menjadi kedudukan Residen.
Arsitektur bangunan di kawasan Kota Lama Semarang beragam. Ada Gereja Blenduk (Nederlandsch Indische Kerk) bikinan 1750 dengan atap kubah yang dipugar pada 1894. Di hadapan gereja ini berdiri gedung karya Thomas Karsten di tahun 1916 yang kini menjadi gedung Asuransi Jiwasraya. Jalanan di kawasan ini kini ber-paving karena terlalu sering diterjang banjir. Tak lupa bangunan Stasiun Tawang yang mencoba tetep bertahan dari terjangan rob. Belum lagi Pasar Semawis yang menghidupkan Pecinan tak jauh dari Kota Lama.

Meski bagi warga Semarang, kawasan Kota Lama menjadi kawasan buangan yang kurang perhatian dari pemerintah setempat, namun bagi warga lain, seperti Jakarta, pastinya kawasan ini jauh lebih hidup. Barangkali, dipadankan dengan Kota Tua Jakarta, kawasan Kota Lama Semarang punya bangunan hidup yang relatif lebih banyak, pun lebih banyak bangunan utuh lantas dipadu jalanan ber-paving tadi. Apalagi ketika melihat atap si Blenduk menyembul di antara bangunan tua lain, bernaung di bawah langit sore. Sempurna cantiknya.

Memang, jika dilihat seksama, kawasan ini belum tertata baik, semisal, begitu semrawutnya lalulintas kabel yang menghalangi pemandangan pada gedung-gedung tua di seluruh kawasan. Jadi mereka yang akan mengambil gambar harus berputar-putar mencari cara agar jalinan kabel yang berseliweran di atas tak menghalangi panorama yang akan diambil.

Keberadaan Semarang diawali tahun 1476 dengan kedatangan utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) untuk mengislamkan semenanjung Pulau Tirang (kini daerah Murgas dan Bergota, Semarang). Kawasan yang subur ini, konon, pohon asem masih jarang (dalam bahasa Jawa menjadi arang) sehingga nama asem arang itu berubah menjadi Samarang kemudian Semarang. Dalam buku Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, ada satu makalah berjudul Pemukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung Ramah Anak, Radjimo Sastro Wijono menulis sejarah Semarang.

Radjimo juga menuliskan tentang orang China pertama yang ada di kawasan Pulau Tirang yaitu Sam Po Tay Djin yang sudah ada sebelum Ki Pandan Arang tiba di sana. Sam Po Khong, klenteng, menjadi tengara keberadaan Sam Po tay Djin. Sejak abad 18 Semarang mengalami tiga kali perubahan batas kota dan di abad 19 kota ini disebut sebagai Kota Batavia kedua.
Di abad 19, pusat strategis kota dihuni oleh kelompok ras Eropa. Disebutkan oleh Radjimo, ras tersebut menghuni Zeestraat (kini Jalan Kebon Laut): Poncol, Pendrikan, kawasan Kota Lama (sebelah timur Jembatan Berok). Sampai-sampai Domine Baron van Hoevell, seorang pendeta yang berkunjung ke Semarang tahun 1847 menyatakan, permukiman orang Eropa di timur Jembatan Berok itu seperti kota kecil di Eropa.

Kota Lama semula ada di dalam benteng yang konon dibangun 1705 dan dihancurkan pada 1824. Kota Lama terus berkembang hingga setelah 1945 Belanda angkat kaki. Kota Lama yang pernah jadi pusat politik dan ekonomi ini makin hari makin merana, ditinggalkan.