Jumat, 03 Agustus 2012

Perang Rusia-Persia 1803-1814

Sebagaimana umumnya perang terjadi, sebagaian besar akar masalah perang antara rusia dan persia pada tahun 1804-1813 dikarenakan sengketa perebutan wilayah di kedua belah pihak. Raja Persia, Fath Ali Shah Qajar, ingin memperluas kembali wilayah kerajaannya hingga jauh lebih ke utara dengan mengamankan wilayah dekat laut kaspia barat daya (sekarang Azerbaijan) dan tanskaukasus (sekarang Georgia dan Armenia). Seperti halnya raja persia, Tsar Rusia, Alexander I yang baru saja naik tahta juga bertekad untuk mengontrol wilayah yang disengketakan tersebut. Perang berakhir dengan Perjanjian Gulistan yang menyerahkan sebagian besar wilayah yang sebelumnya disengketakan tersebut ke kaisaran Rusia.

Asal Usul Perang 

Asal usul perang antara kerajaan rusia dan persia, pertama dapat ditulusuri kembali pada keputusan Tsar Paul untuk menganeksasi Georgia pada tahun 1800. Yang diikuti dengan pembunuhan Tsar paul pada 11 Maret 1801. Tsar Alexander I yang menggantikannya tetap melanjutkan kebijakan agresif pendahulunya dengan menancapkan pengaruhnya atas Khanat di wilayah timur kaukasus. Pada tahun 1803, komandan kekaisaran Rusia yang baru diangkat untuk megamankan wilayah kaukasus timur, Paulus Tsitsianov, menyerang Ganja dan merebut bentengnya pada 15 Januari 1804 yang membuat gubernur, Javad Khan Qajar, tewas, dan sejumlah besar penduduk dibantai. Kejadian tersebut membuat penguasa Qajar, Fath Ali Shah, melihat ancaman Rusia atas Armenia, Karabagh, dan Azerbaijan tidak hanya sebagai sumber ketidakstabilan di perbatasan barat laut, tetapi juga sebagai tantangan langsung terhadap otoritas Qajar.

Pasukan Yang Tidak Seimbang

Dalam perang ini Rusia tidak mampu meurunkan pasukannnya dalam jumlah besar di wilayah Kaukasus, karena perhatian Alexander terus-menerus terganggu oleh adanya perang yang terjadi secara bersamaan dengan Perancis, Kekaisaran Ottoman, dan Inggris. Oleh karena itu, Rusia terpaksa harus mengandalkan keunggulan teknologi tinggi, pelatihan, dan strategi dalam menghadapi musuhnya yang berjumlah lebih banyak. Beberapa perkiraan menempatkan keuntungan numerik Persia atas Rusia di 12:55. Sementara itu Pewaris tahta Shah Fath Ali, Abbas Mirza, juga berusaha untuk memodernisasi tentara Persia, dengan mencari bantuan dari para pakar Perancis melalui aliansi Franco-Persia, dan kemudian dari ahli Inggris, dengan maksud untuk mencapai kemenangan melawan Rusia, namun usahanya sia-sia karena hal tersebut hanya menunda kekalahan Persia saja.

Pecahnya Perang

Komandan perang Rusia Ivan Gudovich dan Paul Tsitsianov memulai pecahnya perang ketika mereka menyerang pemukiman Persia di Echmiadzin, yang terkenal sebagai kota paling suci di Armenia. Gagal dalam usaha pengepungan di Echmiadzin karena kurangnya pasukan, Gudovich mundur ke Yerevan di mana dia lagi-lagi gagal dalam usaha pengepungannya atas wilayah tersebut. Meskipun penyerangannya tidak berjalan efektif, Rusia diuntungkan dalam sebagian besar perang, karena kualitas tentara yang unggul dan strategi yang baik, namun ketidakmampuan Rusia untuk menerjunkan banyak pasukan untuk menghadapi 10.000 tentara yang diterjukan Persia membuat pertempuran terbut menjadi tidak seimbang, dimana pasukan Persia kebanyakan terdiri dari tentara kelas rendah dan sebagian besar kavaleri yang tidak teratur.

Perang Suci dan Kekalahan Persia

Pasukan Persia mulai meningkatkan usaha mereka di akhir perang, dengan menyatakan perang suci terhadap Kekaisaran Rusia pada tahun 1810, namun usaha ini hanya memberikan keberhasilan yang kecil. Keunggulan teknologi dan taktik Rusia berhasil memastikan serangkaian kemenangan strategis terhadap pasukan Persia. Selain itu Persia juga tidak dapat memanfaatkan posisi Napoleon yang masih bersekutu dengan putra mahkota Persia Abbas Mirza yang secara bersamaan juga sedang menginvasi Rusia. Bahkan ketika Perancis berhasil menduduki ibukota Rusia, Moskow, pasukan Rusia di selatan tidak ditarik ke utara namun terus melakukan kampanye ofensif mereka melawan Persia, yang berpuncak pada kemenangan Pyotr Kotlyarevsky di Aslanduz dan Lenkoran, setelah serangkain kekalahan dalam Pertempuran Sultanabad masing-masing pada tahun 1812 dan 1813 . Setelah penyerahan diri Persia, ketentuan dalam Perjanjian Gulistan mewajibkan penyerahan sebagian besar wilayah yang sebelumnya dipersengketakan ke dalam teritori Rusia. Hal ini menyebabkan pengaruh khan di kawasan itu menjadi hancur dan memaksa mereka untuk memberi penghormatan kepada Rusia.

Jalannya Perang

Setelah berhasil merebut Ganja, Tsiatsianov bergerak menuju Erevan, berhadapan dengan tentara Abbas Mirza di dekat Echmiadzin. Tsiatsianov, dengan pasukan yang lebih sedikit namun unggul dalam jumlah artileri, berhasil mengalahkan Abbas Mirza pada tanggal 7 Juni, namun gagal untuk merebut Erevan. Antara 1805 dan 1806, Rusia membujuk khan dari Shirvan untuk menyerah, menaklukkan khanat KarabakhKekhanan Shaki, Baku, dan Qobba-Darband, dan memiliki ambisi untuk menganeksasi Khoy bahkan Tabriz. Setelah kegagalan Rusia dalam pengepungan Erevan dan upaya yang gagal untuk menyerang Gilan, Tsiatsianov dibunuh pada tahun 1806 ketika mencoba untuk bernegosiasi dengan Gubernur Baku, Husain Quli Khan. Rusia sebagian besar telah berhasil menguasai semua wilayah yang disengketakan di wilayah utara Kura dan beberapa wilayah antara Kura dan Aras, situasi yang tidak akan berubah secara signifikan selama sisa perang, tetapi Rusia juga merasa sulit untuk memperluas wilayah tersebut lebih jauh. Situasi bagi Rusia semakin rumit ketika pecah perang dengan Kesultanan Ottoman (1806-1812). Tsiatsianov digantikan oleh Ivan Gudovich, yang tak berhasil mencapai penyelesaian masalah secara damai, ia kemudian melanjutkan serangan Rusia pada tahun 1808, berhasil menduduki Echmiadzin dan Nakhjavan serta mengepung Erevan, tapi ia masih tidak bisa merebut kota itu. Di bawah gubernur Husain Quli Khan Qajar, Erevan tetap mampu menjadi benteng pertahanan Persia selama sisa perang. Para Qajars, setelah memperoleh fatwa yang menyatakan konflik menjadi Perang Suci, dan kemudian menerima dukungan signifikan dari Inggris, Persia balik menyerang pada tahun 1810, menyerbu Karabakh, memenangkan Pertempuran Sultanabad di Aras (13 Februari 1812), dan merebut kembali wilayah di Talesh pada tahun 1812.

Meskipun Perang Rusia-Persia dalam banyak hal merupakan kelanjutan dari perjuangan memperebutkan supremasi di Transkaukasia sejak masa Peter the Great dan Nader Shah, konflik kali berbeda dari konflik terdahulu antara Persia dan Rusia yang dalam perjalanannya kali ini banyak terpengaruh oleh manuver diplomatik dari kekuatan Eropa selama era Napoleon sebagai perkembangan situasi di medan perang. Setelah pendudukan Rusia atas berbagai khanat, Fath Ali Shah, kekurangan uang tunai dan ingin menemukan sekutu, ia telah membuat permintaan dukungan Inggris pada awal Desember 1804. Pada 1805, bagaimanapun, Rusia dan Inggris bersekutu dalam Koalisi Ketiga melawan Perancis, yang berarti bahwa Inggris tidak dalam posisi untuk memberikan bantuan pada Persia dengan risiko kehilangan sekutu Rusianya dan merasa perlu untuk menghindari permintaan berulang kali dari Syah untuk meminta bantuannya.  Duta besar Inggris untuk Kekaisaran Ottoman, Charles Arbuthnot, menuliskannya pada bulan Agustus 1806,

     Untuk menyenangkan Kaisar [Rusia], kami telah membuang semua pengaruh kita di Persia

Hal ini tentunya membuka pintu bagi Perancis untuk menggunakan Persia guna mengancam kepentingan Rusia dan Inggris. Berharap untuk busa membentuk aliansi tripartit antara Perancis, Kesultanan Ottoman, dan Persia, Napoleon mengirim berbagai utusan ke Persia, khususnya Pierre Jaubert dan Claude Mathieu de Gardane, yang memuncak dalam upaya diplomatik Perjanjian Finkenstein, yang ditandatangani pada tanggal 4 Mei 1807, di mana Prancis mengakui klaim Persia atas Georgia dan menjanjikan bantuan dalam pelatihan dan melengkapi tentara Persia. Hanya selang dua bulan kemudian, Napoleon dan Alexander I sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan menandatangani Perjanjian Tilsit (7 Juli 1807), yang mana komitmen dukungan Perancis ke Persia tidak bisa dipertahankan, meskipun Prancis terus memberikan beberapa bantuan militer dan mencoba untuk menengahi penyelesaian dengan Rusia. Upaya Prancis tersebut gagal dan mendorong Gudovich untuk melanjutkan pengepungan Erevan tahun 1808.

Munculnya pengaruh Perancis di Persia, membuat Inggris sangat khawatir karena dipandang sebagai awal dari serangan terhadap India, dan dengan adanya pemulihan hubungan antara Perancis-Rusia dalam perjanjian Tilsit memberikan kesempatan bagi Inggris yang sekarang terisolasi untuk melanjutkan usahanya di Persia, sebagaimana tercermin dalam misi berikutnya oleh John Malcolm (1807-8) dan Harford Jones (1809). Menurut perjanjian awal di Teheran yang diatur oleh Jones (15 Maret 1809), Inggris setuju untuk melatih dan membekali 16.000 infanteri Persia dan membayar subsidi sebesar £ 100,000 jika Persia diserang oleh kekuatan Eropa, atau berusaha menengahi perjanjian damai melalui inggris. Meskipun Rusia telah membuat tawaran perdamaian, dan Jones berharap perjanjian awal tersebut akan mendorong penyelesaian masalah, perkembangan hubungan ini justru memperkuat tekad Fath Ali Syah untuk melanjutkan perang. Hubungan Inggris-Persia bertambah hangat dengan kunjungan Abu'l-Hasan Khan ke London pada 1809 dan kembali ke Persia dengan Gore Ouseley sebagai duta besar yang berkuasa penuh dan sebagai menteri pada tahun 1810. Di bawah naungan Ouseley itu, perjanjian awal diubah menjadi Perjanjian Definitif Persahabatan dan Alliansi pada tahun 1812, yang menetapkan janji-janji sebelumnya dari bantuan militer dan meningkatkan jumlah subsidi sampai £ 150.000.

Kemudian, pada putaran ketiga dan terakhir kisah ini, Napoleon menginvasi Rusia pada bulan Juni 1812, menghasilkan persekutuan kembali antara Inggris-Rusia. Inggris, seperti halnya Perancis setelah perjanjian Tilsit, dengan demikian berkewajiban untuk mengarahkan segala bantuannya untuk Rusia dan melanggar komitmennya terhadap Persia, dengan pilihan yang terbaik adalah dengan menengahi penyelesaian konflik antara keduanya. Rusia telah secara berkala tertarik untuk mencari penyelesaian masalah melalui perundingan sejak kemunduran ofensifnya dari 1805-6 dan baru-baru ini 1810, ketika Alexander Tormasov, yang menggantikan Gudovich sebagai komandan yang telah gagal dalam upaya pengepungannya di Erevan, dan Mirza Bozorg Qaem-magham telah berusaha untuk mengatur gencatan senjata. Namun pihak Rusia tidak mau membuat konsesi serius untuk mengakhiri perang, dan Persia juga kurang bersemangat untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai karena dari sudut pandang mereka perang tidak buruk berjalan buruk bagi mereka. Ouseley, bagaimanapun, menyadari kesenjangan sumber daya yang dimiliki Inggris untuk dikerahkan kepada sekutu Rusianya dan bahwa situasi untuk Persia kini cenderung memburuk setelah Rusia berhasil memenangkan pertempuran dengan Napoleon. Dia dengan demikian, menerima permintaan Rusia untuk bertindak sebagai perantara dan mencari cara untuk menekan dinasti Qajars agar menerima kesepakatan yang dibuat. Ia mengusulkan revisi Perjanjian Definitif, dengan menurunkan pengaruh keterlibatan militer Inggris (meninggalkan dua petugas, Charles Christie dan Lindesay Bethune, dan beberapa sersan bor dengan tentara Persia), dan mengancam akan menahan pembayaran subsidi yang dijanjikan kepada Qajars.

Pada bulan Februari 1812, N.R. Ritischev memegang komando pasukan Rusia dan membuka negosiasi perdamaian dengan Persia. Ouseley dan wakilnya dalam pembicaraan, James Morier, bertindak sebagai perantara dan berbagai proposal dibuat untuk Rtischev, tapi proposal mereka tidak diterima. Pada bulan Agustus, Abbas Mirza kembali menyulut permusuhan dan merebut Lankaran. Setelah tiba berita bahwa Napoleon telah menduduki Moskow, negosiasi dihentikan (Ramazan 1227/September 1812). Kemudian, pada 24 Syawal 1227/31 October 1812, saat Ritischev pergi ke Tbilisi, jenderal Petrus Kotliarevski meluncurkan serangan mendadak pada malam hari di perkemahan Persia di Aslanduz, yang mengakibatkan kekalahan total dari tentara Abbas Mirza dan kematian salah satu petugas Inggris (Christie). Karena juga menjadi semakin jelas bahwa serangan Napoleon di Rusia telah gagal dan menjadi malapetaka baginya, Rusia kini lebih bersemangat untuk melakukan kampanye yang lebih agresif di Kaukasus. Pada tahun 1813 awal, benteng Persia di Lankaran jatuh dan memusanhkan garnisiumnya, hal itu memungkinkan Rusia untuk menduduki sebagian besar Talesh lagi. Meskipun Fath Ali Shah dan Abbas Mirza ingin berjuang kembali setelah kemunduran tersebut, mereka akhirnya harus menyerah pada Ouseley, yang meyakinkan Shah bahwa membiarkan Rusia membuat konsesi teritorial atau Inggris akan menghentikan subsidi yang telah mereka janjikan.